Nama
lengkap al-Gazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin at-Tusi al-Gazali,
digelar Hujjah al-Islam1. Ia lahir di Ghazaleh suatu Desa dekat Thus2, bagian
dari kota Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1056 M.3 Ayahnya seorang yang fakir
dan saleh serta hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, mempunyai
keagamaan yang tinggi dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu
memberi nasehat kepada umat. Sebelum ayahnya meninggal, al-Gazali dan
saudaranya dititipkan kepada seorang sufi untuk dipelihara dan di didik. (Sirajuddin, 2016)
Al-Gazali
dikenal seorang teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir, ahli tasawuf dengan
julukan sebagai hujjah al-Islam. al-Gazali juga belajar kepada sejumlah ulama.
Kemudian menggabungkan kelompok Nizam al-Mulk, wazir sultan (Saljuk) sangat
menarik para cendikiawan muda muslim. Pada tahun (484 H/1091 M) diangkat
menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah, Bagdad selama kurang lebih 4 tahun.7
Dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran saling bertentangan, timbullah
pertanyaan dalam dirinya, aliran manakah yang benar di antara semua aliran itu.
(Hanafi, 1991)
Beliau
diperkiran telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai
disiplin ilmu, sperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqh, ilmu al-Quran,
tasawuf, politik, administrasi dan ekonomi. Namun yang tersisa hingga kini
hanya 84 buah diantaranya adalah Ihya ‘Ulum al-Din, Tahfut al-Falasifaha,
al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, al-Mustashfa, Mizan al-‘Amal, dll. (Sirajuddin,
2016)
Di
kota Thus, tempat pertama mengenal ilmu agama, Al-Ghazali (456-470 H) belajar
fiqh, tata bahasa (nahwu dan sharaf) kepada al-Radzakany28. Ketika usia
Al-Ghazali belum mencapai dua puluh tahun, ia telah melanjutkan studinya ke
Jurjan. Disana ia belajar diseorang guru yang bernama Imam Nasi al-Ismaili.
Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama tiga tahun ditempat
kelahirannya., ia langsung menjadi ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar dasar-dasar
Tasawuf kepada Syekh Yusuf al-Nassaj (w. 489 H). Pada tahun 473 H., ia pergi ke
Naisabur untuk mengambil spesialis (lajutan) agama di (Universitas) Madrasah
alNidzamiyah. Disinilah al-Ghazali berjumpa dengan Imam al-Haramain Diaduddin
al-Juwaini (w.478 H./1085 M) sekaligus sebagai gurunya. Dari al-Juwaini, ia
telah banyak mendalami ilmu Kalam dan Mantiq. Menurut Abdul Ghafar Ibn Ismail
alFarizi, Al-Ghazali adalah seorang yang ahli dan pintar dalam suatu persoalan
dimasanya, sehingga menimbulkan sang Imam merasa ‘iri hati’ kepada Al-Ghazali,
tetapi hal ini hanya dalam hati. Namun disisi lain al-juwawni sendiri merasa
kagum dan bangga atas prestasi yang dimilki oleh sang murid.
Al-Gazali
meninggalkan Bagdad menuju kota Damaskus. Al-Gazali mengunjungi kota
kelahirannya yaitu Thus, di sini pun ia berkhalwat. Keadaan skeptis al-Gazali
berlangsung selama 10 tahun, dan pada periode itulah ia menulis karyanya yang
terbesar Ihya „Ulum al-Din. Selanjutnya karena desakan dari penguasan Saljuk,
al-Gazali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya
berlangsung selama 2 tahun, kemudian dia kembali ke Thus untuk mendirikan
madrasah bagi para fuqaha, dan sebuah zawiyahi atau khanaqah untuk para
mutasawwifin, dan di kota kelahirannya ini pun ia wafat pada tahun 505 H/1111 M
dalam usia 54 tahun. (Sirajuddin, 2016).
Pemikiran-pemikiran
ekonomi Al Ghazali
Pemikiran
ekonomi Al-Ghazali setidaknya mencakup konsep dasar tentang perilaku individu
sebagai economic agent, konsep tentang harta, konsep kesejahteraan sosial
(maslahah), market evolution, demand dan supply, harga dan keuntungan, nilai
dan etika pasar, aktifitas produksi dan hirarkinya, sistem barter dan fungsi
uang, dan fungsi negara dalam sebuah perekonomian. (Rama, 2010)
Kitab
Ihya ‘Ulum al-Din merupakan karya monumental alGhazali dimana di dalamnya
sebagian besar membahas tentang berbagai masalah, baik bidang agama, filsafat,
tasawuf, akhlak dan fiqh yang di dalamnya merupakan embrio dalam pembahasan
pemikiran ekonomi al-Ghazali. Salah satu pemikiran Al-Ghazali adalah mengenai
definisi uang, Al-Ghazali menjelaskan hakikat uang menurut ketentuan agama.
Uang sebagai sesuatu yang penting dalam peraturan bisnis, menurutnya, karena
uang merupakan salah satu nikmat Allah yang harus ditempatkna sesuai dengan
aturan-aturann-Nya. (Al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin). Definsi yang
dikemukakan Al-Ghazali semakna dan maksud dengan definisi lainnya. Akan tetapi
diakui bahwa signifikasi argumentasi dalam definisi yang dikemukakan Al-Ghazali
adalah bahwa uang ternyata hanya sebagai alat tukar (Unit of Exchange) dan
penengah (Intermediary) saja yang selanjutnya dalam perekonomian modern uang
sangat penting dalam peraturan bisnis
baik regional maupun internasional. Keberadaanya telah diakui dan sebagai alat
tukar (money as unit of exchange), ia dapat diterima oleh semuanya. (Munawar, 2018)
Selanjutnya
Al-Ghazali juga berpendapat mengenai uang barang, dalam pandangan AL-Ghazali,
setiap manusia membutuh kan barang-barang, makanan, pakaian dan
kebutuhankebutuhan lainnya. Akan tetapi keterbatasan mereka untuk memiliki
semuanya; sehinnga apa yang dia punya ditukar dengan milik orang lain. (Al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin)
Dalam
buku Ihya Ullumuddin, Al-Ghazali menguraikan asal usul uang secara rinci dan
mendetail. Pertama, ia menguraikan kegiatan para petani sebagai suatu komunitas
tradisional dalam proses kegiatan ekonominya, yaitu sebagaimana cara
memproduksi dari barang mentah menjadi barang baku. Mari kita simak perkataan
Al-Ghazali;
--- فان الفالح ربما
يسكن قرية ليس فيها الة الفالح والحداد والنجار يسكنان قرية اليمكن فيها الزراعة
فبالضرورة يحتاج الفالح اليها ويحتاجان الي الفالح فيحتاج احدهما ان يبذل ماعنده
لالخر حتي ياخذ منه غرضه وذالك يطريقة المعاوضة ----
“Karena para petani kebanyakan hidup di desa
yang tidak ada peralatan petanian, dan di pihak lain tukang besi dan tukang
batu yang bertempat tinggal di kota. Mereka dengan terpaksa baik petani, tukang
besi maupun tukang batu mereka saling membutuhkan satu sama lainnya akan
barang-barang yang tidak mereka punyai maka mereka melakukan transaksi dengan
cara tukar menukar/barter. Inilah yang kemudian disebut dengan al Mufawwadhah….”
(Al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin)
Dari
pernyataan ini dapat kita renungkan bahwa hubungan antara petani dan alat-alat
pertanian, dan hubungan dengan sesama manusia dan alam lingkungan mempunyai
arti yang sangat mendalam, baik arti ekonomi, lingkunan dan sosial budaya
kesemuanya tak lepas dari kesatuan ciptaan-Nya. Ini artinya, Al-Ghazali
memberikan gambaran bahwa antara tukang batu, petani dan tukang besi diantara
mereka terjadi saling membutuhkan, mereka saling memproduksi berdasarkan
spesialisasi masing-masing. Bila dikaitkan dengan teori ekonomi modern,
Al-Ghazali telah lebih dulu mengenal teori Full Employment (kesempatan kerja
penuh) atau Full Employment theory sebelum ada teori moneter klasik, yang
digagas oleh tokoh-tokoh semacam; J.B.Say, Irving Fisher dan A. Marshall. (Munawar, 2018)
Dalam
kitab Ihya juga mengatakan nya bahwasan nya barang tambnag dapat digunakan
untuk membuat uang dari emas dan perak, karna menurutnya bahan tambnaglah yang
bisa bertahan lama. Sealin hal tersebut ada keistimewaan dari auang yakni uang
digunakan sebagai alat tukar menukar dan juga alat guna. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa uang (baca; komoditi) mempunyai nilai guna (use value) bila
dapat memuaskan kebutuhan manusia dan berdasarkan atas manfaat dan kelangkaan.
Maka, uang mempunyai nilai tukar (exchange value). Karena setiap uang mempunyai
nilai guna dan nilai tukar, maka ia mempunyai daya nilai tukar.
Pemikiran
Al-Ghazali selanjutnya adalam mengenai riba, Al-Ghazali dalam memandang riba,
ia bukan hanya mengharamkan perbuatan ini, tetapi juga mengajak untuk
menghindari perbuatan tersebut. Menurutnya, berlakulah waspada dari
iunsur-unsur riba Nasi’ah dan fazhl dalam melakukan transaksi bisnis, hal ini
sesuai dengan isi dalam Al-Quran surat Baqarah ayat 275. Dalam menyikapi hal
ini Al-Ghazali juga menuliskan dalam kitab Ihya :
واما اذا باع درهاما بدرهم مثلها نسيئة
وانما لم يجز ذالك النه اليقدم علي هذا االمسامح قاصد االحسان في القرض وهو مكرمة
مندوحة لتبقي صورة المساحة فيكون له حمد واجر والمعاوضة الحمد فيها والاجر فهو
ايضا ظلم النه اضاعة خصوص المسامحة واخراجها في معرض المعاوضة
Artinya:
”Adapun transaksi (menjual) uang dirham dengan uang dirham yang sama dalam
waktu tempo (nasi’ah), maka sesungguhnya yang demikian itu, tidak
diperbolehkan. Karena tidak ada orang yang melakukan perbuatan ini, kecuali
orang yang berlapang dada yang bermaksud berbuat baik pada akad utang piutang
dari itulah adalah suatu kemuliaan, sebagai kebebasan dari padanya. Supaya
kekal bentuk ”musamahah” (pengampunan) maka baginya mendapatkan puji dan
pahala. Tetapi jika “alMu’awadah” (tukar menukar barang) maka tidak ada baginya
pahala dan puji. Dan itu juga perbuatan dzalim, karena sesungguhnya ia telah
menghilangkan khususnya bentuk pengampunan dan ia mencurahkannya dalam bentuk
mu’awadah. (Al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin)
Meskipun
Al-Ghazali tidak banyak berteori tentang hukum pasar supply-demand seperti
dalam teks buku-buku ekonomi saat ini, namun banyak pikiran-pikirannnya bisa
ditemukan dalam bukunya khsusnya Ihya ‘Ulum al Din yang menunjukkan kedalaman
pemahamannya tentang hukum pasar supply-demand. Misalnya beliau mengatakan
“Ketika seorang petani tidak menemukan seorang pembeli atas hasil pertaniannya
maka ia akan menjualnya dengan harga yang lebih rendah”. Al-Ghazali juga nampaknya begitu mengerti
tentang ‘price-inelastic’ demand. Hal ini terlihat pada anjurannya untuk tidak
mengambil keuntungan yang tinggi dalam perdagangan barang-barang kebutuhan
dasar manusia seperti makanan. (Ghazanfar,
2005)
Dalam
hal lain, yakni terkait macam-macam kegiatan
ekonomi Al-Ghazali mengelompokan manusia kedalam tiga golongan, yakni :
Masyarakat lalai, masyarakat selamat dan masyarakat peragu. (Findi, 2010)
Dari
ide dan gagasan Al-Ghazali tentang kegiatan usaha yang diperbolehkan atau
dianjurkan oleh agama, sebagaiman yang tertuang dalam kitab-kitab karyanya,
terutama Ihya ‘Ulumudin, dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis usaha.
Diantara jenis-jenis usaha yang diperbolehkan adalah: Aqd al-Ba’I (Selling
Contract) atau dikenal dengan jual beli biasa, Aqd al-Salam (contract of
delivery sale) yakni jual beli salam (pesanan), Aqd al-Ijarah (sewa
menyewa/upah mengupah), Aqd al-Qiradh (Equity Partnership) yakni kerjasama
antara dua orang, yaitu pemilik modal dan pengelola modal, Aqd al-Syirkah
(partnership contrac) atau yang lebih dikenal dengan musyarakah. (Munawar, 2018)
Adapun
kegiatan ekonomi yang tidak diperbolehkan mneurt Al-Ghazali adalah diantaranya
: menimbu, mengedarkan uang palsu, memuji barang secara berlebihan,
menyembunyikan cacat barang, riba, curang dalam menimbang clan menakar
timbangan, dan menyembunyikan harga pasar. (Munawar, 2018)
Al-Ghazali
juga memikirka tentang fungsi Negara dan penguasa dalam pengaturan aktifitas
ekonomi. Kemajuan ekonomi akan tercapai jika terjadi keadilan, kedamaian,
kesejahteraan dan stabilitas dan ini merupakan ruang lingkup tanggung jawab
Negara untuk mewujudkannya. Selain itu, Al-Ghazali juga berbicara tentang
konsep keuangan public. Pendapatan Negara didapatkan dari zakat, fai, ghanimah
dan jizyah. Sementara untuk pengeluaran public, Al- Ghazali menganjurkan
perlunya membangun infrastruktur sosio ekonomi yang manfaatnya dapat dirasakan
secara langsung oleh masayarakat. (Rama, 2010)
Oleh : Susi Susanti - STEI SEBI
0 Comments